Selasa, 08 November 2011

PERAN GURU SEBAGAI PEMBIMBING


Peran Guru Sebagai Pembimbing
Guru berusaha membimbing siswa agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya, membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri dan produktif.  Siswa adalah individu yang unik. Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walaupun secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, akan tetapi pada hakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan dan sebagainya. Di samping itu setiap individu juga adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tentu tidaklah sama juga. Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing.
Hubungan guru dan siswa seperti halnya seorang petani dengan tanamannya. Seorang petani tidak bisa memaksa agar tanamannya cepat berbuah dengan menarik batang atau daunnya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia memiliki potensi untuk berbuah serta telah sampai pada waktunya untuk berbuah. Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu tumbuh dengan sempurna, tidak terkena hama penyakit yang dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak tumbuh dengan sehat, yaitu dengan cara menyemai, menyiram, memberi pupuk dan memberi obat pembasmi hama. Demikian juga halnya dengan seorang guru. Guru tidak dapat memaksa agar siswanya jadi ”itu” atau jadi ”ini”. Siswa akan tumbuh dan berkembang menjadi seseorang sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Inilah makna peran sebagai pembimbing. Jadi, inti dari peran guru sebagai pembimbing adalah terletak pada kekuatan intensitas hubungan interpersonal antara guru dengan siswa yang dibimbingnya
Lebih jauh, Abin Syamsuddin (2003) menyebutkan bahwa guru sebagai pembimbing dituntut untuk mampu mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).  Berkenaan dengan upaya membantu mengatasi kesulitan atau masalah siswa, peran guru tentu berbeda dengan peran yang dijalankan oleh konselor profesional. Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah siswa yang mungkin bisa dibimbing oleh guru yaitu masalah yang termasuk kategori ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan.
Dalam konteks organisasi layanan Bimbingan dan Konseling, di sekolah, peran dan konstribusi guru sangat diharapkan guna kepentingan efektivitas dan efisien pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Prayitno (2003) memerinci peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling adalah :
  • Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa.
  • Membantu konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa tersebut.
  • Mengalihtangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada konselor.
  • Menerima siswa alih tangan dari konselor, yaitu siswa yang menuntut konselor memerlukan pelayanan khusus. seperti pengajaran/latihan perbaikan,  dan program pengayaan.
  • Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.
  • Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
  • Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.
  • Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.
Jika melihat realita bahwa di Indonesia jumlah  tenaga konselor profesional memang masih relatif terbatas, maka  peran guru sebagai pembimbing tampaknya menjadi penting. Ada atau tidak ada konselor profesional  di sekolah, tentu   upaya pembimbingan terhadap siswa mutlak diperlukan. Jika kebetulan di sekolah sudah tersedia tenaga konselor profesional, guru bisa bekerja sama dengan konselor bagaimana seharusnya membimbing siswa di sekolah. Namun jika belum, maka kegiatan pembimbingan siswa tampaknya akan bertumpu pada guru.
Agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai pembimbing, berikut ini  beberapa hal yang perlu diperhatikan:
  1. Guru harus memiliki  pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Misalnya pemahaman  tentang gaya dan kebiasaan belajar serta pemahaman tentang potensi dan bakat yang dimiliki anak, dan latar belakang kehidupannya. Pemahaman ini sangat penting, sebab akan menentukan teknik dan jenis bimbingan yang harus diberikan kepada mereka.
  2. Guru dapat memperlakukan siswa sebagai individu yang unik dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan keunikan yang dimilikinya.
  3. Guru seyogyanya  dapat menjalin hubungan yang akrab, penuh kehangatan dan saling percaya, termasuk di dalamnya berusaha menjaga kerahasiaan data siswa yang dibimbingnya, apabila data itu bersifat pribadi.
  4. Guru senantiasa memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mengkonsultasikan berbagi kesulitan yang dihadapi siswanya, baik ketika sedang berada di kelas maupun di luar kelas.
  5. Guru sebaiknya dapat memahami prinsip-prinsup umum konseling dan menguasai teknik-tenik dasar konseling untuk kepentingan pembimbingan siswanya, khususnya ketika siswa mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dalam belajarnya.

Minggu, 30 Oktober 2011

Dunia Pendidikan





"Inovasi Kurikulum Pendidikan Indonesia".
Tanpa disadari, kita selalu menggunakan kurikulum dalam kehidupan sehari-hari. Setiap menit kita mempunyai tugas-tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan. Tugas itu selalu dilakukan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dengan harapan hasilnya memuaskan. Oliva (1984), seorang ahli kurikulum, menyebutkan bahwa pada awal munculnya kata "curriculum" di jaman Romawi mempunyai arti yaitu jalur atau gelanggang pacu yang harus dilewati pada perlombaan kareta kuda. Ternyata, dua puluh satu abad kemudian. kata kurikulum selalu digunakan dalam dunia pendidikan dan berkembang menjadi konsep yang artinya luas dan abstrak. Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya (Sukmadinata, 2004).
Dalam arti murni, kurikulum adalah langkah-langkah yang dilaksanakan dalam suatu pekerjaan agar tercapai suatu tujuan tertentu. Ini berarti kurikulum dalam satu lembaga pendidikan adalah langkah-langkah yang harus ditempuh guna pencapaian tujuan. Ahli lain menyebutkan kurikulum adalah seperangkat mata pelajaran mengenai suatu bidang ilmu atau keahlian khusus, yang tujuan, isi, dan kegiatannya terprogram serta pelaksanaannya di bawah naungan suatu lembaga pendidikan. Sebagai hal yang terprogram, kurikulum berisi perencanaan yang ingin dicapai, tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan diajarkan, pembelajaran, dan alat-alat pembelajaran. Kurikulum dapat dianggap mantap dan baik untuk suatu masyarakat dan pada masa tertentu apabila di dalamnya mempunyai relevansi isi dengan tujuan pendidikan nasional.

Memang kita akui bahwa pada jaman yang senantiasa berubah dituntut diadakannya penyempurnaan kurikulum untuk menyahuti perkembangan jaman dan tuntutan pembelajar. Jadi, tidak benar anggapan selama ini bahwa pergantian kurikulum disebabkan pergantian menteri. Di samping itu, pembaharuan kurikulum bukanlah topik yang baru, terutama di Amerika Serikat. Pembaharuan dilakukan karena mendesaknya perbaikan sekolah yang mencakup semua aspek persekolahan.

Salah satu usaha yang amat besar dalam memperbaharui kurikulum terjadi pada kurun waktu tahun enam puluhan (1960-an), khususnya setelah peluncuran pesawat sputnik Uni Sovyet. Amerika Serikat sangat tertantang dan yang pertama dibenahi dan disempurnakan adalah kurikulum persekolahannya. Saat itulah disebut era pembaharuan kurikulum. Pembaharuan kurikulum mencakup semua aspek kurikulum, seperti mata perlajaran, isi atau konten, proses belajar mengajar, metode, pengelolaan waktu yang lebih baik, dan perolehan hasil belajar siswa. tentu yang lebih baik.


Dalam menyikapi suatu perubahan, setiap sekolah dituntut berperan dalam pembaharuan tersebut sampai pada tahap implementasinya dan menetapkan perubahan itu sesuai dengan perkembangan sekolah tersebut. Sering terjadi sekolah menerima suatu perubahan tanpa memperhitungkan mengapa mereka mengadopsinya, apa dampak perubahan itu bagi guru, siswa, dan masyarakat luas. Kemudian, sekolah yang dijadikan ajang pembaharuan itu digembor-gemborkan sebagai suatu model yang akan menjadi contoh bagi sekolah lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memastikan apakah satu sekolah perlu melakukan suatu perubahan.
Substansi Perubahan Kurikulum
Biasanya suatu perubahan datang dari kalangan yang mempunyai pengaruh. Mereka menawarkan retorika dan data yang dapat menggugah sehingga inovasi itu dibutuhkan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan sumber-sumber perubahan, seperti: waktu yang cukup, refleksi din, program sekolah, staf sekolah yang berkeinginan untuk berubah dan penuh kesadaran mau mengimplementasi-kannya, baik di dalam maupun di luar sekolahnya.

M. Francis Klein dalam bukunya Curriculum Reform in the Elementary School menyatakan ada lima substansi suatu inovasi kurikulum, yaitu:
1.        Menetapkan perencanaan. Perencanaan harus menekankan perubahan yang diinginkan dan harus didasarkan pada sekumpulan data sekolah dan visi yang akan dilakukan sehubungan dengan pembaharuan tersebut.
2.      Menguji kurikulum secara komprehensif. Kurikulum hendaknya didefinisikan dan diuji secara komprehensif dari berbagai sudut, antara lain: lembaga persekolahan, fungsi sekolah, dan tujuan kurikulum.
3.       Menganalisis kesenjangan antara teori dan praktek. Walaupun sekolah tampaknya merupakan tempat yang menyenangkan bagi siswa unruk belajar, namun masih banyak hal yang memerlukan penyempumaan. Seperti apa yang diharapkan sekolah berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, penyempumaan kurikulum harus dapat menjembatani/mengatasi kesenjangan tersebut.
4.      Perhatian terhadap kurikulum implisit. Dalam mengembangkan substansi kurikulum implisit perlu diperhatian hal-hal yang tidak tersurat yang ada dipersekolahan, seperti budi pekerti, kesantunan berbahasa, dan berprilaku baik.
5.      Mengembangkan pendekatan yang sistematis. Suatu pendekatan yang sistematis terhadap perbaikan kurikulum harus menggunakan pendekatan yang sistematis. Hal ini disebabkan suatu aspek perubahan yang kecil akan membawa dampak terhadap aspek persekolahan yang lain.
KTSP
Sampai saat ini kita telah mengalami berkali-kali penyempumaan (inovasi) kurikulum mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Implernentasi suatu inovasi kurikulum dimaksudkan untuk menyahuti perkembangan jaman dan meningkatkan mutu suatu satuan pendidikan. Namun, sering inovasi-inovasi tersebut mengalami kegagalan dan tidak pernah diimplementasikan. Djohar (2003) menemukan dalam penelitiannya bahwa kurikulum SMK edisi 1999 masih belum dilaksanakan sepenuhnya sesuai harapan kurikulum itu. Penyebabnya adalah: (1) guru-guru belum memahami sepenuhnya konsep kurikulum, (2) desain/rancangan model kurikulum pada tingkat instruksional/mikro sebagai penjabaran dari kurikulum pada tingkat makro, masih belum ada dan masih sedang dikembangkan.
Sekaitan dengan implementasi suatu kurikulum, Hasan (1992) mengemukakan bahwa tidak diimplementasikannya suatu kurikulum pada tingka sekolah ditentukan oleh tiga faktor, yaitu (1) karakteristik pembaharuan itu sendiri, (2) karakteristik pelaksana, dan (3) strategi implementasi yang ditempuh. Hal senada diperkuat oleh McLaughlin (1987) dengan menyatakan bahwa kesuksesan implementasi suatu kebijakan sangat tergantung kepada dua faktor utama, yaitu (1) kapasitas lokal dan (2) kemauan dari pelaksana.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, selajutnya disebut KTSP, atau lebih dikenal Kurikulum 2006 sejak tahun pelajaran 2006/2007 dan direalisasikan sampai pada tahun 2009/2010 (Permendiknas, No.24 Tahun 2006).
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan. KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 200 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan tersusunnya kurikulur pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan mengacu kepada standar isi dan standar kompetensi lulusan serta berpedornan pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) (BNSP:2006).
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa pemberlakuan KTSP masih menemui banyak hambatan sehingga menyebabkan adanya perasaan pesimis dalam menerapkan kurikulum dimaksud. Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Lubuk Linggau menyatakan bahwa KTSP ternyata masih bersifat idealis dan sulit diterapkan secara nasional (Linggau Pos, 5 Juni 2007). Kendala-kendala penyebabnya adalah kondisi daerah terpencil yang sulit dijangkau dan minimnya sarana dan prasarana penunjang, lemahnya insfrastruktur serta masalah sumber daya manusia dimana masih banyak guru dengan latar belakang  pendidikan D2 dan D3.

KTSP dimaksudkan untuk bisa menjawab tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Dengan demikian, kurikulum disusun untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada didaerah. Perbedaan KTSP dengan kurikulum sebelumnya adalah memberikan kewenangan penuh kepada sekolah untuk menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada patokan-patokan (standar) yang telah ditetapkan, mulai dari visi, misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.
KBK untuk Perguruan Tinggi
Kurikulum adalah suatu dokumen atau rencana tertulis tentang pendidikan yang akan diterapkan di kelas melalui pengalaman belajar yang memberikan dampak langsung terhadap hasil belajar mahasiswa. Oleh karena itu jika pengalaman belajar ini tidak sesuai dengan rencana tertulis maka hasil belajar yang diperoleh tidak dapat dikatakan sebagai hasil dari kurikulum.
Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 yang ditindaklanjuti Surat Keputusan Mendiknas Nomor 045/U/2002 yang mengemukakan "Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu". Kurikulum merupakan perangkat pendidikan yang dinamis. Oleh karena Itu, kurikulum juga harus peka dan sekaligus mampu merespon beragam perubahan dan beragam tuntutan stakeholders yang menginginkan adanya peningkatan kualitas pendidikan. Negara-negara berkembang dan negara maju di hampir seluruh dunia sekarang ini tengah berupaya meningkatkan kualitas pendidikannya dengan mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Puskur, 2007). .
Dengan adanya kecenderungan globalisasi dan keinginan untuk menyesuaikan tuntutan kebutuhan serta aspirasi bangsa Indonesia di masa depan akan membawa implikasi terhadap perubahan-perubahan kebijakan, khususnya dalam bidang pendidikan. Misi pendidikan nasional adalah menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif yang adaptable terhadap perubahan dan kebutuhan stakeholders. Disamping itu, perguruan tinggi dapat menjawab fenomena empat pilar pendidikan (learning to know, learning to do learning to be, and learning to live together). Untuk itulah perguruan tinggi berupaya mewujudkannya melalui kurikulumnya yang disebut KBK. Inovasi kurikulum ini bukan hanya perubahan pemikiran, tetapi yang paling penting adalah perubahan perilaku dalam pembelajaran.
Suatu inovasi tidak begitu saja dapat diterima. Perubahan-perubahan yang dibawa inovasi memerlukan persiapan dan waktu yang panjang, Kecepatan pelaksanaannya tergantung pada kondisi sekolah dan kesiapan para pelaksana (Hasan, 1995), Cepat atau lambatnya suatu inovasi diterima oleh masyarakat atau sekolah tergantung pada karakteristik inovasi tersebut Menurut Everett M. Rogers (1983), ada lima karakteristik suatu inovasi agar dapat diterima, yaitu:

1.        Keuntungan relatif, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan bagi penerimanya. Tingkat keuntungan atau kemanfaatan suatu inovasi dapat diukur dari nilai ekonomi, kepuasan, dan status sosial, atau karena mempunyai komponen yang sangat penting. Makin menguntungkan bagi penerima makin cepat tersebarnya inovasi.
2.      Kompatibel, yaitu tingkat kesesuaian inovasi dengan nilai, pengalaman masa lampau, dan kebutuhan penerima.
3.       Kompleksitas, yaitu tingkat kesukaran untuk memahami dan menggunakan inovasi bagi penerima. Suatu inovasi yang mudal dimengerti dan mudah digunakan akan cepat tersebar, sedangkan inovasi yang sukar dimengerti atau sukar dipergunakan akan lambat proses penyebarannya.
4.      Triabilitas, yaitu dapat dicoba atau tidaknya suatu inovasi oleh penerima.
5.      Observabilitas, yaitu mudah tidaknya diamati suatu inovasi.

Sekaitan dengan hal-hal yang disebutkan di atas, Herrnawan (dalam Nursidik, 2008) mengemukan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
1.        Prinsip relevansi, yaitu secara internal, di antara semua komponen dalam kurikulum itu mempunyai relevansi. Secara eksternal komponen-komponen kurikulum mempunyai relevansi epistimologi, relevansi psikologis, dan relevansi sosiologis.
2.      Prinsip fleksibilitas, yaitu dalam pengembangan kurikulum diusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes dan fleksibel dalam pelaksanaannya.
3.       Prinsip kontinuitas, yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum, baik secara vertikal maupun horizontal.
4.      Prinsip efisiensi, yakni mengusakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan surnber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat, dan tepat, sehingga hasilnya memadai.
5.      Prinsip efektivitas, yakni mengasahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.






DAFTAR BACAAN

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: BSNP
Djohar, As'ari. 2003. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Sekolah Menengah Kejuruan. Disertasi, tidak diterbitkan. Bandung: PPS UPI.
Hasan, SH. 1992. An Evaluation of the 1975 General Senior Secondary Social Studies Curriculum Implementation in Bandung Municipality. Disertasi Doctor dari Macquary University. Tidak diterbitkan.
Klein, M. Frances. 1989. Curriculum Reform in the Elementary School. New York: Columbia University.
MaLaughin.   1987. Implementing of ESEA Title I. New York: Columbia University.
Miller, John P and Wayne Seller. 1985. Curriculum: Perspective and Practice. New York: Longman.
Nursidik, Yahya. 2008. Apa Definisinya. Tersdia
http://apadefinisinya.blockspot. com/2008.07/11/2008.
Oliva, F.F.  1984. Developing the Curriculum.  Boston: Little Brawn and Company.
Pusat Kurikulum, Balitbang. 2003. Kurikulum Berbasis Komptensi. Jakarta: Depdiknas.
Rogers, Everett. M. 1983. Curriculum Innovation.
Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Lubuk Linggau. "KTSP Sulit Diterapkan Secara Nasional" Lubuk Linggau Pos, Selasa, 5 Juni 2007.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2004. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.